Sabtu, 12 Mei 2012

OPINI, KIYAI DAN NASIONALISME


Opini berbeda dengan opium meski keduanya memaksakan candu bagi sang pemuja. Candu yang memabangkitkan selera konsumsi manusia ringkih yang membawa beban nafsu. Candu Harapan akan eksistensinya memegang obor kebebasan kemanusiaan yang didengung -dengungkan rejim pembalak liar dan penjambak aturan Sang Penguasa Semesta.
Alkisah seorang wanita bertampang jumawa, bersorban nama MANDJI berkoar tetang candu bernama Diin Al-Islam yang mengekang nurani kebebasan manusia dlm mereguk “syurga kaum sodom”. Ia Menempeleng Peci Sang  Kiyai yang usang kata-katanya tak mampan mendidik generasi bangsanya yang keranjingan goyang patah-patah juga keranjingan opini penunjang goyang gergaji. Sementara santri rikuh di belakang tameng tubuh kiyai yang keriput malu berkata-kata karena tak mampu membaca dan memahami lembar-lebar kuning peninggalan sejarah emas Ulama2 Sang Pembela atau justru korban dari opini makanan2 Siap saji dan Hedonisme kalung2 tengkorak.
Ringkih ia berjalan terpatah-patah, menyusuri temaram cahaya mimpi yang berngsur-angsur padam. Sepenggal nafas tertahan dari kerongkongan yang kering takmampu berucap sebuah kebenaran. Duhai masa lalu yang merenggut  semuanya. harapan adalah puing dalam sisa hidupnya yang gamang. Tatkala ia menemukan persimpangan maut, tatapannya nanar dan berduka menyaksikan seonggok jiwa-jiwa yang dekil ditimbuni kepongahan zaman, duhai sang kiyai nafas terakhirmu adalah harapan zaman ini yang berpendar harum kesturi dalam balutan lagu jiwamumu yang sunyi merindu Sang Khalik.
Mimpiku dan segelintir yang banyak dari gugusan pemuda negri ini adalah rumah mewah dan hamparan sawah, pipi merona sang Betina dan mahkota raja-raja. Tiap detik menggali harapan pada sumur2 emas berbau comberan. Bersuara lantang sembari mencongkel cecunguk yang berdalih sang pembela Tuhan. Aku adalah dewa kata-kata, manusia akan memujaku karena mantra2ku sendiri yang kutitip lewat secarik opini dungu. Cita-citaku adalah cita-cita sang Sharon pembunuh bayi-bayi mungil pelempar batu ingin dikenang oleh sebuah dataran bernama bangsa, cita-cita yang heboh, riuh rendah oleh nasional anthem smentara darah2 berceceran dari mulut2 jalan Gaza.
Ini hanya refleksi untuk jumudnya narasi dalam diri, yg tak mampu berbuat untuk negri. Hanya sepenggal opini yg mugkin tak di mengerti.......

Tidak ada komentar:

Posting Komentar