Opini berbeda dengan opium meski
keduanya memaksakan candu bagi sang pemuja. Candu yang memabangkitkan selera konsumsi
manusia ringkih yang membawa beban nafsu. Candu Harapan akan eksistensinya
memegang obor kebebasan kemanusiaan yang didengung -dengungkan rejim pembalak
liar dan penjambak aturan Sang Penguasa Semesta.
Alkisah seorang wanita bertampang
jumawa, bersorban nama MANDJI berkoar tetang candu bernama Diin Al-Islam yang
mengekang nurani kebebasan manusia dlm mereguk “syurga kaum sodom”. Ia Menempeleng
Peci Sang Kiyai yang usang kata-katanya
tak mampan mendidik generasi bangsanya yang keranjingan goyang patah-patah juga
keranjingan opini penunjang goyang gergaji. Sementara santri rikuh di belakang tameng
tubuh kiyai yang keriput malu berkata-kata karena tak mampu membaca dan
memahami lembar-lebar kuning peninggalan sejarah emas Ulama2 Sang Pembela atau
justru korban dari opini makanan2 Siap saji dan Hedonisme kalung2 tengkorak.
Ringkih ia berjalan terpatah-patah,
menyusuri temaram cahaya mimpi yang berngsur-angsur padam. Sepenggal nafas
tertahan dari kerongkongan yang kering takmampu berucap sebuah kebenaran. Duhai
masa lalu yang merenggut semuanya. harapan
adalah puing dalam sisa hidupnya yang gamang. Tatkala ia menemukan persimpangan
maut, tatapannya nanar dan berduka menyaksikan seonggok jiwa-jiwa yang dekil
ditimbuni kepongahan zaman, duhai sang kiyai nafas terakhirmu adalah harapan
zaman ini yang berpendar harum kesturi dalam balutan lagu jiwamumu yang sunyi
merindu Sang Khalik.
Mimpiku dan segelintir yang
banyak dari gugusan pemuda negri ini adalah rumah mewah dan hamparan sawah,
pipi merona sang Betina dan mahkota raja-raja. Tiap detik menggali harapan pada
sumur2 emas berbau comberan. Bersuara lantang sembari mencongkel cecunguk yang
berdalih sang pembela Tuhan. Aku adalah dewa kata-kata, manusia akan memujaku
karena mantra2ku sendiri yang kutitip lewat secarik opini dungu. Cita-citaku
adalah cita-cita sang Sharon pembunuh bayi-bayi mungil pelempar batu ingin
dikenang oleh sebuah dataran bernama bangsa, cita-cita yang heboh, riuh rendah
oleh nasional anthem smentara darah2 berceceran dari mulut2 jalan Gaza.
Ini hanya refleksi untuk jumudnya narasi dalam diri, yg tak mampu
berbuat untuk negri. Hanya sepenggal opini yg mugkin tak di mengerti.......
Tidak ada komentar:
Posting Komentar