Selasa, 12 Mei 2015

Islam Nusantara tulusan terbaru Salim A Fillah

Islamedia -  Ustadz Salim A Fillah memposting tulisan terbarunya tentang sejarah kesultanan Islam di tanah Jawa di website pribadinya salimafillah.com, senin (11/5/2015).

Dengan gaya bahasa yang sangat enak dibaca, Ustadz Salim mengajak pembaca membuka kembali sejarah masa-masa kejayaan Islam di Nusantara khususnya tanah Jawa. Kesultanan Islam pernah berdiri dengan gagah di tanah Jawa yang menjadi kekuatan besar dunia pada masanya.

Berikut isi tulisan lengkapnya dengan judul "PARA SULTAN SANTRI, Bagian I: Dari ‘Abdullah ke ‘Abdurrahman"


Kisah bermula dari balik tembok Kota Gede yang kukuh dengan pasar gedenya yang ramai riuh. Adalah Raja Mataram kedua, Panembahan Prabu Hanyakrawati (1601-1613) telah terikat janji pada Ratu Tulungayu, bahwa anak kesayangan mereka yang berjuluk Adipati Martapura, kelak akan dinobatkan sebagai penerusnya. Tapi sayang, pangeran muda itu mengalami gangguan syaraf yang berakibat keterbelakangan mental.

Janji seorang raja, demikian bagi sang penguasa yang bernama kecil Mas Jolang, putra Panembahan Senapati (1587-1601), tetaplah ikrar suci yang tan kena wola-wali. Di sisi lain, para kawula Mataram tidak boleh dikorbankan haknya untuk memiliki pemimpin yang cakap hanya demi sebuah janji.

Maka sebakda Ayahandanya wafat saat berburu di hutan Krapyak pada suatu hari di tahun 1613, Adipati Martapura tetap ditahbiskan sebagai raja ketiga Kedhaton Mataram di Kotagede. Tapi raja tunagrahita ini memangku jabatannya hanya selama satu hari saja.


Pada hari berikutnya, dia diturunkan secara hormat dari singgasana batu Dhampar Sela Gilang. Kemudian kakaknya beda ibu, Mas Rangsang alias Raden Mas Jatmika dilantik sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Agung Hanyakrakusuma.

Masa pemerintahan raja yang lahir pada 1593 dari rahim Ratu Dyah Banawati binti Pangeran Benawa Pajang ini akan dikenang sebagai masa kebesaran Mataram, dihiasi pula oleh keberanian pasukannya yang dua kali menyerang VOC di Batavia di tahun 1628-1629 hingga menewaskan Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen (1619-1623, 1627-1629). Pun raja ini pula yang mengubah hubungan hierarkis antara para ‘ulama dan para raja di Tanah Jawa.

Sebelumnya, pada masa Kesultanan Demak dan Pajang, majelis permusyawaratan para Wali adalah syuraa tertinggi yang keputusannya mengikat para Sultan sebagai semata pelaksana. Para Sultan pun tunduk dengan ta’zhim kepada dewan para ‘alim lagi faqih yang menjadi ahlul halli wal ‘aqdi negara mereka.

Adapun Raden Mas Jatmika tumbuh di bawah asuhan para ‘ulama dengan kecerdasan dan pemahaman yang diakui melampaui rata-rata kaum santri di zamannya. Maka ketika dia naik takhta sebagai Panembahan Agung Hanyakrakusuma, para ‘ulama kemudian didudukkan sebagai para penghulu Keratonnya, yang hanya dapat memberi nasehat, bukan keputusan mengikat. Apalagi dia mengambil gelar seperti kakeknya, Sayidin Panatagama, yang amat jelas dimaksudkan untuk iqamatuddin dalam pemerintahannya. Dan bagi para ‘ulama di zamannya, Panembahan Agung Hanyakrakusuma dengan kapasitas keilmuan dan kesantriannya jauh lebih kompeten untuk itu daripada para pendahulunya.

Panembahan Agung Hanyakrakusuma tahu, dinasti Mataram adalah trah keturunan petani. Bahkan jikapun diakui nasab buyutnya Ki Ageng Pemanahan sampai ke Ki Ageng Sela dan sampai ke Bondan Kejawan putra Prabu Brawijaya V di Majapahit; asal-usul sebagai wangsa petani baginya justru menguatkan hubungan dengan rakyat yang seasal selatar-belakang dengan dirinya.

Hanya saja, untuk menjadi pemimpin agama Islam tertinggi di Jawa yang sepadan dengan kekuasaannya kini, raja yang sesudah menaklukkan Madura dan Sukadana di Kalimantan serta merengkuh Palembang dan Jambi ke dalam kekuasaannya di tahun 1624 memakai gelar Susuhunan Agung Hanyakrakusuma ini merasa masih ada yang mengganjal.


Sebagai raja besar dari trah keturunan petani, dia justru dikelilingi oleh para penguasa yang di dalam nadi mereka mengalir darah Kanjeng Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, hingga kaum muslimin pada um